Ciamis – Ketua Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Kabupaten Ciamis, Mas Ahim, menanggapi berbagai permasalahan yang terjadi di sejumlah desa belakangan ini. Ia menyayangkan munculnya tuntutan mundur terhadap kepala desa maupun perangkat desa sebagai bentuk protes dalam audiensi yang berujung pada aksi demonstrasi.
“Situasi ini cukup memprihatinkan. Tuntutan pemberhentian kepala desa atau perangkat desa menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan desa,” ujar Mas Ahim seperti yang dikutip dari lama resmi PPDI Ciamis.
Sebagai organisasi profesi, PPDI Kabupaten Ciamis berkomitmen untuk terus melakukan pembinaan kepada anggotanya agar bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang diatur dalam undang-undang, serta menghindari pelanggaran hukum.
Sorotan Tajam terhadap Pemerintahan Desa
Mas Ahim juga menyoroti semakin tajamnya pengawasan terhadap kinerja pemerintahan desa, baik perangkat desa, kepala desa, maupun Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Ia menilai berita negatif lebih cepat menyebar dan mendominasi pemberitaan, meskipun hanya sebagian kecil desa yang menghadapi permasalahan. Akibatnya, prestasi dan pencapaian positif pemerintah desa sering kali tertutupi oleh isu-isu negatif.
“Kami menyadari bahwa pembinaan dari PPDI masih belum maksimal. Sebagai organisasi, kami memiliki keterbatasan, terutama dalam hal pendanaan. Sejak tahun 2023, PPDI Kabupaten Ciamis tidak lagi mendapatkan hibah dari pemerintah daerah, sehingga operasional organisasi hanya mengandalkan iuran anggota dan sumbangan donatur,” ungkapnya.
Proses Pemberhentian Perangkat Desa Harus Sesuai Aturan
Terkait meningkatnya tuntutan pemberhentian perangkat desa, Mas Ahim menegaskan bahwa pemberhentian tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Menurutnya, perangkat desa hanya dapat diberhentikan jika meninggal dunia, mengundurkan diri, atau terbukti melanggar aturan dengan hukuman minimal lima tahun dan telah berkekuatan hukum tetap. Selain itu, proses pemberhentian harus melalui tahapan surat peringatan (SP) sebelum tindakan lebih lanjut diambil.
“Pemerintahan desa adalah sebuah sistem. Jika dilakukan pergantian secara sembarangan, bukan perbaikan yang terjadi, tetapi justru dapat memperburuk kinerja desa,” jelasnya.
Ia juga menilai bahwa dalam beberapa kasus, kepentingan politik, subjektivitas, atau permasalahan pribadi lebih sering menjadi dasar tuntutan pemberhentian aparatur desa. “Kita hidup di negara hukum. Jika ada dugaan pelanggaran, selesaikan sesuai prosedur yang berlaku, bukan sekadar pemecatan tanpa dasar hukum yang jelas,” tegasnya.
Kritik Membangun untuk Kemajuan Desa
Meski demikian, Mas Ahim tetap mengapresiasi audiensi yang dilakukan masyarakat di beberapa desa. Ia menilai kritik yang bertujuan untuk memperbaiki kinerja pemerintahan desa merupakan hal yang positif.
“Namun, kritik harus disampaikan dengan cara yang sesuai dan tidak terkesan sebagai tindakan main hakim sendiri. Jika ada pelanggaran, sebaiknya diproses sesuai dengan hukum yang berlaku,” katanya.
Ia juga mengimbau perangkat desa agar terus meningkatkan kinerja, melakukan evaluasi, dan berupaya memperbaiki pelayanan kepada masyarakat.
“Kritik itu penting untuk kemajuan desa, dan kontrol sosial juga perlu dilakukan. Perangkat desa sebaiknya tidak alergi terhadap kritik, melainkan menjadikannya sebagai bahan evaluasi demi kemajuan bersama,” pungkasnya.